PROBOLINGGO, JP – Pemberhentian kepala desa tak bisa dilakukan secara serampangan. Prosesnya harus mengacu pada regulasi yang berlaku, yakni Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai pedoman teknis. Hal itu ditegaskan oleh Dr. Mushafi Miftah, S.H.I., M.H., Direktur Pusat Kajian dan Konsultasi Hukum (PUSKAKUM) Universitas Nurul Jadid dalam forum diskusi bedah Perbup, Rabu (14/5/2025).
“Dalil pemacatan atau pemberhentian kepala desa sudah cukup jelas dalam Perbup Kabupaten Probolinggo. Diatur rinci soal alasan pemberhentian, mulai dari pelanggaran hukum, tidak menjalankan kewajiban, atau sebab lainnya yang sesuai dengan ketentuan,” ujar Dr. Mushafi.
Menurutnya, dari sudut pandang hukum administrasi, ketegasan aturan dalam Perbup sangat penting agar tidak menimbulkan multitafsir di lapangan. “Kepastian hukum itu penting, baik bagi aparatur desa maupun masyarakat agar tahu batas kewenangan dan kewajibannya,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kewenangan bupati untuk memberhentikan kepala desa tidak bisa dipandang sebagai tindakan sewenang-wenang. “Bupati menjalankan mandat undang-undang untuk menjaga tata kelola pemerintahan desa. Selama prosedur dilalui dan dasar hukumnya kuat, maka pemberhentian sah secara hukum,” tegasnya.
Namun, Dr. Mushafi juga menekankan pentingnya keadilan dalam pelaksanaan aturan. Ia menyebut, kepala desa adalah jabatan politik yang dipilih langsung oleh masyarakat. Karena itu, setiap keputusan pemberhentian harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan memberi ruang klarifikasi bagi yang bersangkutan.
“Jangan sampai aturan digunakan untuk kepentingan tertentu. Mekanisme pembelaan diri harus tetap dijamin,” ujarnya.
Diskusi bedah Perbup ini menjadi pengingat penting bahwa regulasi tidak hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi juga penjaga stabilitas dan keadilan dalam pemerintahan desa.(Fik)