PT JAWARA POS GRUP

SELAMAT & SUKSES RI 1
Save Nusantara

Etika Kelembagaan dan Kaidah Hukum Ketatanegaraan Harus Jadi Pedoman

Dalam dinamika pemerintahan daerah, posisi lembaga bantuan hukum (LKBH SAE atau Sae Law Care/SLC) dan lembaga legislatif harus benar-benar berada pada jalur yang sesuai dengan kaidah Hukum Ketatanegaraan. Hal inilah yang menjadi sorotan sejumlah pihak, terutama dari Senior Advokat Maulana Sholehudin, S.H., tokoh sentral SLC, yang mempertanyakan kehadiran seorang anggota legislatif dalam forum eksekutif bersama LSM.

Menurut Maulana Sholehudin, apabila sebuah tanggapan atau kritik disampaikan atas nama DPR, maka jalur penyampaiannya tidak bisa langsung ke tim teknis. Mekanisme yang benar adalah melalui pimpinan daerah—dalam hal ini Bupati—karena fungsi DPRD adalah sebagai lembaga pengawas, bukan pelaksana teknis.

“Kalau memang atas nama DPR, ya tanggapannya bukan ke tim teknis, tapi kepada pimpinan bupati. Karena Dewan itu pengawas, bukan pelaksana,” ujar Maulana.

Lebih lanjut, ia menyoroti kejanggalan kehadiran anggota legislatif dalam forum yang semestinya menjadi ruang dialog antara eksekutif dan LSM. “Itu kan forumnya eksekutif dengan LSM, lalu dia hadir sebagai apa dalam forum tersebut?” tanyanya. Menurutnya, setiap pihak yang mengatasnamakan lembaga hukum seharusnya memahami secara utuh mekanisme Hukum Ketatanegaraan.

Jika SLC atau LKBH SAE ingin menyampaikan tanggapan secara kelembagaan, maka bentuk yang tepat adalah melalui pembelaan hukum, bukan opini emosional. Misalnya dengan menjelaskan bahwa SK yang diterbitkan Bupati telah memiliki dasar hukum yang sah dan tidak terdapat pelampauan kewenangan.

“Kalau memang atas nama SLC atau LKBH SAE, ya harus dijelaskan dari sisi hukum. SK itu sah, dan tidak ada kewenangan yang dilanggar oleh Bupati,” jelas Maulana.

Pernyataan ini juga diperkuat oleh Dicky, salah satu pengurus SLC, yang mempertanyakan landasan hukum atas keikutsertaan anggota legislatif dalam forum tersebut.

“SLC atau LKBH SAE ini kan independen, tidak punya SK dari eksekutif. Tapi kok yang bersangkutan justru melibatkan unsur eksekutif? Secara etik, ini tidak etis,” tegasnya.

Hal lain yang disoroti adalah lemahnya soliditas internal dan komunikasi kelembagaan antara pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait. Tindakan reaktif dalam merespons dinamika lapangan dinilai mencerminkan kurangnya koordinasi.

“Seharusnya kalau ada gerakan seperti ini, ya duduk bersama, diskusi. Bukan buru-buru merespons. Kita evaluasi bersama, apa langkah yang sebaiknya diambil,” tambah Maulana.

Advokat senior tersebut menutup dengan pesan penting: jangan sampai lembaga hukum maupun DPR justru mempermalukan diri sendiri karena bertindak di luar rel konstitusional dan mekanisme tata negara.“

Kalau kita melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan mekanisme Hukum Ketatanegaraan, ya diketawain orang. Itu jadi konyol,” pungkasnya.

Oleh: Redaksi Jawara Post Biro Probolinggo

 



Menyingkap Tabir Menguak Fakta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *