PT JAWARA POS GRUP

SELAMAT & SUKSES RI 1
Save Nusantara

Saat Air Jadi Kemewahan: Jeritan Warga Desa Tulupari di Tengah Krisis Air

PROBOLINGGO JP – Ribuan warga Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, mengalami krisis air bersih selama puluhan tahun. Tidak adanya jaringan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang menjangkau wilayah ini membuat warga di lima dusun; Krajan, Karang Tengah, Dulungan, Klompangan, dan Jawaan, harus menempuh jarak hingga tiga kilometer ke sungai melewati hutan jati untuk mendapatkan air.

Air sungai digunakan untuk mandi dan mencuci, sementara untuk kebutuhan minum dan memasak, mayoritas warga membeli air bersih dari penjual keliling. Satu jerigen berisi 25 liter air dijual seharga Rp500. Dalam sehari, rata-rata satu rumah tangga bisa menghabiskan Rp20 ribu untuk air bersih.

“Untuk mandi dan nyuci kami ke sungai, dan jaraknya kira kira sekitar 3 kilo meter. Tapi kalau buru-buru, kami pakai air beli. Harus dihemat, paling empat gayung klo untuk mandi,” kata Awaruddin (57), warga Dusun Krajan, Senin (2/6/2025).

Kondisi ini cukup membebani, terutama bagi warga yang bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan harian sekitar Rp80 ribu. Selain membeli air, warga juga harus mengantre untuk menggunakan air sungai, terlebih saat musim kemarau atau saat proyek perbaikan bendungan di Sungai Pekalen mengganggu aliran air.

“Air dibuka dari hulu sore hari, biasanya baru sampai ke desa malam,” ujar Abdul Aziz (49), warga Karang Tengah.

Di desa ini hanya terdapat delapan sumur, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 1.000 kepala keluarga. Warga dari beberapa dusun bahkan harus mengambil air ke desa tetangga, seperti Tegal Watu.

Kepala Desa Tulupari, Zainul Arifin, menyatakan bahwa program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) yang sebelumnya diandalkan, telah tidak berfungsi sejak akhir 2024. Padahal, warga sempat membayar iuran rutin untuk layanan tersebut.

“Warga sudah berusaha dan membayar iuran. Tapi saat ini satu-satunya harapan adalah pengeboran sumur artesis,” kata Zainul.

Pemerintah desa telah mengajukan proposal ke sejumlah instansi, mulai dari pemerintah kabupaten hingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Pengeboran sumur artesis dinilai sebagai solusi jangka panjang yang paling memungkinkan, meski biayanya cukup besar.

“Kami butuh minimal tiga titik, dengan estimasi biaya sekitar Rp150 juta per titik dan kedalaman sumur hingga 100 meter,” tambah Zainul.

Warga berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret. “Sampai kapan kami hanya bergantung pada langit?” ujar Taufik (44), warga Dusun Dulungan.

Krisis air yang terjadi bukan lagi persoalan musiman, tapi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. (Fik)



Menyingkap Tabir Menguak Fakta