Air Mata di Balik Jerigen: Nestapa Warga Tulupari yang Bertahan Tanpa Air Bersih

PROBOLINGGO Jawara Post – Di Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo, kehidupan berjalan dengan luka yang tak kasat mata. Luka itu bernama krisis air bersih—sebuah derita yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Di desa yang dikelilingi hutan jati ini, ribuan warga dari lima dusun—Krajan, Karang Tengah, Dulungan, Klompangan, dan Jawaan—harus berjalan kaki hingga tiga kilometer menembus rimbun pepohonan demi satu ember air dari sungai.

Di sanalah mereka mencuci, mandi, dan merawat tubuh yang letih—dengan air keruh yang mengalir pelan, kadang berhenti saat musim kemarau tiba.

“Kami tidak punya pilihan lain. Sungai itu satu-satunya. Kalau tidak kuat jalan, ya beli air,” ucap Awaruddin (57), warga Dusun Krajan, lirih. Matanya sayu, menggambarkan lelah yang tak selesai oleh tidur.

Untuk kebutuhan minum dan memasak, warga membeli air dari penjual keliling. Satu jerigen 25 liter dihargai Rp500. Murah, mungkin bagi orang kota. Tapi bagi buruh tani yang hanya mendapat Rp80 ribu sehari, itu berarti harus memilih antara makan cukup atau mandi bersih.

“Sehari bisa habis empat jerigen. Kadang saya mandi pakai empat gayung saja. Kalau air habis, anak-anak saya suruh tidur cepat supaya tidak haus,” kata Awaruddin, sambil memperlihatkan jerigen kosong yang sudah menguning dimakan usia.

Lebih dari 1.000 kepala keluarga hidup dalam situasi ini. Mereka harus berebut air di sungai. Di malam hari, mereka menunggu aliran air dari hulu yang dibuka oleh petugas bendungan. “Kadang jam 9 malam baru keluar air. Kami bawa senter, jerigen, ember, semua keluar rumah,” ujar Abdul Aziz (49), warga Karang Tengah.

Delapan sumur untuk ribuan jiwa

Desa Tulupari hanya memiliki delapan sumur, yang tak cukup untuk kebutuhan semua warga. Di beberapa dusun, sumur nyaris tak ditemukan. Warga terpaksa berjalan ke desa tetangga seperti Tegal Watu untuk sekadar mengambil satu ember air bersih.

“Kadang kami berangkat pagi, pulang sore, hanya untuk bawa air dua ember,” ujar warga Dusun Klompangan, yang enggan disebut namanya. Ia membawa dua anak kecil yang menggenggam tangan kirinya erat, seolah tak ingin lepas dari tubuh ibu yang kelelahan.

Harapan yang tak lagi mengalir

Program PAMSIMAS yang dulu sempat memberi harapan, kini tinggal kenangan. Sejak akhir 2024, air tak lagi mengalir. Iuran warga tetap dikutip, namun keran-keran tetap kering. Hati mereka pun ikut retak, karena merasa diabaikan.

Kepala Desa Tulupari, Zainul Arifin, tak kuasa menahan getir ketika berbicara soal warganya. “Mereka sudah sabar. Sudah bayar, sudah ikut gotong royong. Tapi air tetap tidak datang. Sekarang kami hanya bisa berharap pada pengeboran sumur artesis,” katanya.

Ia menyebut minimal butuh tiga titik pengeboran, dengan biaya sekitar Rp150 juta per titik dan kedalaman hingga 100 meter. Proposal sudah diajukan ke pemerintah kabupaten, BPBD, bahkan lembaga swasta. Tapi bantuan belum kunjung datang.

“Sampai kapan kami bergantung pada langit?”

Di sudut lain Dusun Dulungan, seorang ayah bernama Taufik (44) duduk memandangi anaknya yang bermain dengan genangan air sisa hujan. “Kami ini seperti hidup di negeri yang asing. Hujan kami syukuri, tapi tak bisa ditampung. Sungai kami manfaatkan, tapi tak bisa diminum. Sampai kapan kami bergantung pada langit?”

Ia mengelus kepala anaknya. “Kami butuh air, bukan janji.”

Desa Tulupari telah lama memikul penderitaan dalam diam. Tangisan mereka tak terdengar di gedung-gedung tinggi, jerit mereka tenggelam di balik keran-keran yang terus mengucur di kota.

Tapi di sini, di sudut sunyi Kabupaten Probolinggo, ratusan anak tumbuh dalam kekurangan, puluhan lansia bertahan dengan tubuh rapuh, dan keluarga-keluarga sederhana masih menggantungkan harap pada jerigen dan langit mendung.

Tulupari tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin hidup layak. Dan itu, semestinya, bukan hal yang terlalu sulit di negeri yang katanya kaya air ini. (Fik)



Menyingkap Tabir Menguak Fakta