Hari Santri : Inilah Kalimat Terahir Sang Jendral Sudirman

KETIKA memperingati hari Santri, ingatan kembali segar mengenang sosok seorang jenderal besar di negeri ini. Panglima Soedirman, seorang jenderal yang berjuang bukan hanya mengandalkan senjata ataupun kekuatan fisik pasukan, namun selalu mengandalkan ridho ilahi karena ia seorang Santri.

Jendral Soedirman yang kita kenal sebgai jendral besar ternyata adalah seorang santri. Ia lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya merupakan seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto

Titip anak-anak… Tolong aku dibimbing tahlil…” Ucapan terakhir Jenderal Besar Soedirman

Di penghujung Januari 1950, udara Magelang terasa sejuk, namun menyimpan duka yang pekat. Di sebuah wisma tentara di Badakan, tubuh renta yang dahulu menembus hutan dan lereng gunung dalam perang gerilya kini terbaring lemah. Dialah Panglima Besar Jenderal Soedirman — sang penegak kehormatan republik — yang tengah menapaki pertempuran terakhirnya, melawan penyakit yang perlahan meluruhkan paru-parunya.

Beberapa tahun sebelumnya, dari medan tempur Madiun, Soedirman pulang dengan hati remuk. Ia menyaksikan sesama anak bangsa saling menumpahkan darah dalam tragedi pemberontakan 1948. Dengan langkah tertatih, ia memasuki rumahnya di Bintaran Wetan, Yogyakarta. Kepada istrinya, Siti Alfiah, ia berbisik lirih: matanya tak sanggup terpejam melihat rakyat sendiri saling menebas.

Malam itu, ia memilih mandi dengan air dingin—menolak saran sang istri untuk memakai air hangat. Keputusan kecil yang membawa akibat besar. Esok harinya, tubuh sang jenderal tumbang. Dokter mendiagnosis tuberkulosis paru. Satu paru-parunya harus diistirahatkan lewat operasi, namun semangat juangnya tak pernah surut. Dari ranjang rumah sakit, ia masih sempat menulis sajak berjudul “25 Tahun Rumah Nan Bahagia”, ungkapan terima kasihnya kepada para perawat di Panti Rapih.

Namun panggilan tanah air tak pernah padam di dadanya.
Ketika agresi militer Belanda meletus pada 19 Desember 1948, Soedirman menolak beristirahat. Dengan tubuh separuh sehat, ia memimpin perang gerilya dari atas tandu selama delapan bulan. Hujan, lapar, dan dentum peluru tak mampu menundukkan tekadnya. Di hutan-hutan dan lereng-lereng gunung Jawa, ia menjelma simbol keteguhan bangsa: rapuh di tubuh, tapi tak pernah kalah di jiwa.

Usai Belanda menyatakan gencatan senjata pada Oktober 1949, kondisi Soedirman kian menurun. Ia memilih beristirahat di lereng Magelang, memandang Gunung Sumbing yang seolah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Namun firasatnya berkata lain. Pada 18 Januari 1950, ia memanggil para perwira tinggi, di antaranya Ahmad Yani dan Gatot Soebroto. Dengan suara tenang, ia menitipkan pesan—seakan tahu ajalnya kian dekat.

Pagi 29 Januari 1950, wajahnya tampak teduh. Menjelang malam, usai menunaikan salat magrib, ia memanggil istrinya ke sisi ranjang.
Dengan suara parau yang hampir hilang, ia berbisik pelan:

“Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.”

Siti Alfiah menuntunnya melafazkan Laa ilaha illallah. Dalam pelukan perempuan yang setia mendampingi perjuangannya, Jenderal Besar Soedirman menghembuskan napas terakhir dengan nama Allah di bibir, dan Indonesia di dadanya.

Di halaman rumah, bendera merah putih perlahan turun setengah tiang dengan sendirinya. Seolah alam turut berduka, memberi penghormatan terakhir bagi sang panglima suci yang tak pernah menyerah pada perang, sakit, atau nasib.

“Jasamu abadi, Jenderal.”

#NKRI_HARGA_MATI



Menyingkap Tabir Menguak Fakta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *