PROBOLINGGO, Jawara Post — Di sebuah rumah sederhana di pinggiran Kabupaten Probolinggo, seorang ibu menunduk pilu. Tangannya menggenggam erat foto putrinya yang masih belia—santriwati yang dulu ia antar ke pondok dengan penuh harap dan doa.
Ia tak pernah menyangka, tempat yang ia percaya sebagai rumah ilmu dan moral, justru meninggalkan luka mendalam bagi buah hatinya.
“Anakku ingin jadi hafidzah, ingin jadi orang yang dekat dengan Allah,” lirih sang ibu dengan suara bergetar. “Tapi siapa sangka, di tempat itu justru air matanya menetes dalam ketakutan.”
Harapan yang dulu tumbuh subur kini layu disiram kabar memilukan: sang anak diduga menjadi korban perlakuan tak senonoh oleh pengasuh pesantren yang semestinya menjadi teladan.
Kasus ini menyeret nama Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam, Desa Sumber Kerang, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Polisi telah memeriksa sejumlah pihak, termasuk pengasuh pesantren, setelah laporan dugaan kekerasan seksual terhadap santriwati mencuat ke publik.
Bagi sang ibu, setiap malam kini hanya diisi tangis dan doa. Ia teringat bagaimana ia melepas putrinya dengan senyum, menitipkan harapan agar kelak sang anak tumbuh menjadi manusia yang mulia.
“Tiap bulan saya kirim uang hasil jual sayur. Saya pikir, cukup asal anak saya bisa mondok, bisa dekat sama agama. Tapi ternyata malah begini,” katanya menahan isak.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan berbasis agama. Pesantren yang seharusnya menjadi taman akhlak kini ternoda oleh ulah segelintir oknum.
“Ini bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga luka sosial dan moral. Masyarakat menuntut keadilan dan pembersihan nama baik pesantren dari orang-orang yang mencederai maknanya,” ujar salah satu tokoh masyarakat Gending.
Kini, dinding hijau pesantren itu berdiri dalam diam. Namun di balik diamnya, tersimpan gema pertanyaan yang menyesak di dada banyak orang:
Bagaimana mungkin tempat yang mengajarkan taqwa justru menorehkan trauma?
Di mana letak hati nurani mereka yang seharusnya membimbing, bukan melukai?
Sang ibu menatap kosong ke luar jendela. Ia tak tahu bagaimana memulihkan luka anaknya, tapi satu hal ia yakini:
“Allah tidak tidur. Kalau manusia menutup mata, langit pasti melihat,” ucapnya pelan.
Dan mungkin, dari air mata seorang ibu itulah kita diingatkan — bahwa setiap kali nurani mati, keimanan sejati pun ikut terkubur. (Fik)













