Air Mata Keadilan di Balik Dinding Pesantren “Berdosa itu semua yang berusaha membungkam kebenaran.” – H. Ilyas

PROBOLINGGO, Jawara Post –Siang itu, di sebuah warung kopi sederhana di wilayah Kraksaan, beberapa wartawan dan pegiat lembaga swadaya masyarakat duduk bersama. Suasana tampak santai, tapi isi percakapan mereka jauh dari ringan. Mereka membahas satu perkara yang mengguncang nurani: dugaan kekerasan seksual di pondok pesantren Desa Sumberkerang, Kecamatan Gending.

Di tengah diskusi itu, suara H. Ilyas, advokat senior yang dikenal berani bersuara lantang, terdengar tajam namun sarat empati.
“Berdosa itu semua yang berusaha membungkam kasus ini,” ucapnya tegas, disambut anggukan pelan dari beberapa peserta yang ikut menyimak.

Ia lalu mengutip sabda Rasulullah SAW: “Man ra’a minkum munkaran fal yughoyyirhu biyadih” — Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya.
“Sekecil apapun upaya menegakkan kebenaran, malaikat akan mencatatnya sebagai amal ibadah,” lanjutnya.

Kata-kata itu membuat suasana sejenak sunyi. Asap kopi mengepul pelan di antara meja kayu yang penuh bercak hitam, menjadi saksi bahwa siang itu, yang dibicarakan bukan sekadar hukum, tapi juga nurani.
Sebab pondok pesantren — tempat suci untuk menanam ilmu dan akhlak — tak seharusnya menjadi tempat lahirnya luka dan air mata.

“Jangan karena itu anak kiai, lalu kita tutup-tutupi,” ujar H. Ilyas.
“Hukum tidak hanya untuk anak petani atau kuli. Sekalipun itu anak kiai, kalau salah ya tetap salah.”

Ia mengingatkan, Islam tidak mengajarkan untuk berdiam diri di hadapan kemungkaran.
“Qulil haq walau kana murron, katakanlah yang benar walau pahit,” katanya dengan suara mantap.
“Sekalipun itu pengasuh pesantren, kalau berperilaku buruk ya tetap buruk. Biar publik tahu, jangan malah ditutup-tutupi.”

Sementara itu, Bang Lutfi dari L3GAM menimpali dengan nada getir.
“Tidak ada toleransi bagi pengasuh pesantren yang menggauli santriwatinya,” tegasnya.
“Statusnya itu seperti orang tua, pendidik, pengasuh. Apakah pantas orang tua menggauli anaknya, meskipun berdalih suka sama suka!?”

Diskusi siang itu bukan sekadar obrolan warung kopi, melainkan panggilan nurani. Sebuah peringatan bahwa pondok pesantren sejatinya taman akhlak, bukan benteng gelap yang menyembunyikan keburukan.

“Kalau Nabi saja berkata, ‘jika anak saya mencuri akan saya potong tangannya,’ maka siapa kita yang berani membela kesalahan?” pungkas H. Ilyas.

Percakapan pun berakhir. Tapi pesan moralnya tak berhenti di situ. Di bawah langit siang yang terik, semua yang hadir paham — kebenaran tak boleh dibiarkan padam, bahkan di tengah panasnya dunia. (Fik)



Menyingkap Tabir Menguak Fakta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *