Dana Parkiran akan Jadi Mesin atau Ilusi Fiskal

Penulis : Jeannie Latumahina
Ketua Umum RPA INDONESIA

Jangan sampai rakyat dengar kabar triliunan digelontor, tetapi jalan depan rumah tetap saja berlubang_

PEMERINTAH akhirnya melalui Mentri Keuangan baru, akhirnya mengambil langkah cukup berani. Langsung menggunakan dana parkir negara di Bank Indonesia untuk dipindah ke bank-bank nasional. Nilainya juga tidak main-main, sebesar Rp200 triliun, bisa disebut sebesar lebih kurang 47% dari total dana parkir sebesar Rp425 triliun.

Dan masih ditambah lagi dengan dana percepatan transfer ke daerah, maka kebijakan ini menjadi suntikan segar bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang sedang galau mencari momentum baru.

Langkah ini sangat logis, yaitu daripada uang negara yang selama ini “bobo manis” di rekening BI kenapa tidak dialirkan saja menggerakkan kredit, memperluas dana pembiayaan, sekaligus mendorong belanja daerah. Namun seringkali namanya kebijakan besar yang menyangkut hajat hidup banyak orang, akibat maraknya perilaku koruptif berakibat muncul pertanyaan, apa benar dana ini sungguh bekerja sebagai mesin ekonomi? Atau malah justru justru pindah tempat parkiran, sehingga tidak memberi dampak positif di lapangan?

*Godaan Janji Manis*

Narasi resmi yang sedang dibangun pemerintah terdengar sangat menjanjikan. Yaitu likuiditas lebih longgar sehingga menurunkan tekanan suku bunga. Dengan demikian biaya pinjaman diharapkan bisa lebih murah. UMKM, petani, dan pelaku industri kecil yang selama ini kesulitan bernafas mengakses modal bisa lega mendapatkan ruang gerak baru. Maka daerah dengan mendapat tambahan transfer dana, juga bisa mempercepat belanja publik, seperti percepatan infrastruktur dasar hingga banyak program layanan sosial masyarakat.

Secara teori mengatakan bahwa uang berputar lebih cepat memang akan menambah denyut gerak ekonomi. Terlebih di atas kertas, sangat masuk akal uang Rp200 triliun yang parkir mengendap kini dialirkan ke sektor riil. Sehingga multiplier effect, uang akan dilipatganda dalam aktivitas ekonomi, jelas ini juga akan bisa membuka lapangan kerja, serta menambah daya beli masyarakat.

Oleh karena itu semua pihak langsung sepakat, bahwa lebih baik dana mengalir di masyarakat daripada berdiam parkir di BI. Tetapi ingat juga yang sering terjadi, yaitu kesenjangan antara teori dan realitas bisa sangat lebar, seperti peribahasa jauh panggang dari api.

*Risiko di Tikungan*

Kebijakan yang cukup baik ini bukan tanpa bayangan risiko. Bagaimana bila bank penerima dana tambahan tersebut malah memilih play safe dengan tidak menyalurkannya ke kredit produktif. Dimana kemudian bank tersebut memilih menaruh dana parkir dari BI kepada instrumen pasar uang atau obligasi negara, yang lebih mudah dan pasti keuntungannya, ketimbang harus bekerja keras memberi kredit ke petani atau pengusaha kecil yang dianggap lebih berisiko. Maka dengan demikian yang terjadi, dana dari BI yang Rp200 triliun hanya berpindah tempat parkir dari satu instrumen ke instrumen parkir lain.

Selanjutnya atas dasar pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa banyak pemerintah daerah, sangat lambat dalam menyerap anggaran karena kwalitas SDM atau tidak mampu melihat peluang pada UMKM, sehingga alih-alih kredit diterima segera digunakan untuk membiayai pengembangan daerah, malah dana transfer kerap juga mengendap di kas daerah atau malah diputarkan di deposito perbankan daerah. Sehingga jelas akibatnya, belanja publik yang diharapkan mendorong pertumbuhan justru tersendat.

Kemudian terdapat naiknya risiko inflasi lokal. Jika belanja daerah secara tiba-tiba meningkat tanpa diimbangi pasokan barang dan jasa yang memadai, yang malah akan memicu kenaikan harga. Uang beredar memang bertambah, tetapi daya beli riil masyarakat justru tergerus.

Yang keempat, belum terdapat koordinasi antar-otoritas yang akan menjadi penentu. Yaitu antara BI, Kemenkeu, dan OJK dimana seharusnya mampu berjalan seiring. Jika terlalu longgar, likuiditas berlebih bisa memicu gelembung harga. Jika terlalu ketat, niat baik kebijakan ini sangat bisa mandek di tengah jalan.

Singkatnya, tidak ada jaminan uang yang dipindahkan dari Bank Indonesia akan otomatis berubah menjadi mesin pertumbuhan.

*Di Ujung Tikungan Pertaruhan*

Kebijakan ini bisa dibaratkan taruhan besar. Pemerintah tentu bisa saja dikenang karena berhasil mengubah dana pasif menjadi motor penggerak ekonomi. Tetapi ingat ada bahaya risiko, kebijakan bagus ini kemudian hanya menjadi eksperimen fiskal lain yang berakhir tanpa hasil signifikan.

Maka kuncinya terletak pada keberanian untuk mengambil langkah tegas. Pemerintah harus benar menetapkan target keras, seperti berapa persen dana bank nasional yang harus benar-benar masuk ke kredit produktif, dan kedalam sektor apa saja, serta dalam jangka waktu berapa lama. Tanpa adanya target yang jelas, maka bank penerima Dana Parkir dari BI akan lebih memilih jalur aman, sementara publik hanya disuguhi angka fantastis yang tak pernah turun ke lapangan.

Demikian juga dari sisi transparansi masih ada potensi krusial. Oleh sebab itu masyarakat berhak untuk tahu, ada berapa persen dari dana Rp200 triliun itu yang benar-benar disalurkan, juga akan seberapa cepat daerah mampu mempergunakannya, dan sejauh mana dampaknya pada harga pangan, jumlah serapan tenaga kerja, maupun daya beli lokal. Jika berjalan tanpa indikator yang transparan, kebijakan ini hanya akan menghasilkan headline, bukan perubahan nyata.

Pada akhirnya yang menjadi pertanyaan terpenting bukanlah berapa besar dana yang digelontorkan, tetapi apakah uang itu benar-benar memberi napas baru bagi ekonomi rakyat. Apakah petani akan lebih mudah mendapat modal mengadakan pupuk, seberapa mampu UMKM bisa menambah kapasitas produksi, hingga tukang bengkel bisa membeli dan melengkapi peralatan baru, atau seberapa banyak warung kopi bisa memperluas usahanya? Ataukah kebijakan baru ini jangan-jangan, membuat uang digelontor hanya berputar pada neraca bank dan pada laporan sebatas keuangan pemerintah, yang masih jauh dari denyut pasar dan kebutuhan rakyat?

Jika dana parkir ini benar dan sungguh mampu disulap menjadi mesin ekonomi, sejarah akan mencatatnya sebagai langkah berani yang berbuah manis. Tetapi jika tidak mampu, akan dikenang sebagai kebijakan ilusi fiskal belaka, dimana kebijakan besar yang ramai di atas kertas, tetapi hampa di lapangan.

Sabtu, 20 September 2025



Menyingkap Tabir Menguak Fakta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *