PT JAWARA POS GRUP

SELAMAT & SUKSES RI 1
Save Nusantara

Diperiksa Polisi, Jurnalis Abdul Fatah Diduga Jadi Korban Konflik Etik di Balik Kasus Miras

PROBOLINGGO Jawara Post – Seorang jurnalis asal Kelurahan Patokan, Kecamatan Kraksaan, Abdul Fatah Al Harowy, memenuhi undangan klarifikasi dari penyidik Polres Probolinggo, Rabu (6/8/2025). Ia datang ditemani kuasa hukumnya, Pradipto Atmasunu, SH, MH, dalam rangka memberikan keterangan atas laporan dugaan pencemaran nama baik yang dilayangkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Probolinggo terhadap akun TikTok @anggaatas.

Namun, di balik pemanggilan ini, mencuat persoalan lain yang lebih dalam: Abdul Fatah diduga dikorbankan dalam pusaran konflik etik jurnalisme, yang melibatkan oknum jurnalis senior berinisial DW, anggota PWI setempat.

Kasus bermula dari penggerebekan sebuah toko minuman keras (miras) oleh Tim Satgas Miras Kabupaten Probolinggo di Ruko Green Garden, Desa Sumberlele, Kecamatan Kraksaan, pada Jumat (4/7/2025). Dalam peristiwa itu, muncul dugaan bahwa DW melarang jurnalis melakukan peliputan, bahkan memberikan uang sebesar Rp150 ribu kepada beberapa wartawan yang hadir, termasuk kepada Abdul Fatah, yang disebut sebagai bawahannya.

Tak hanya itu, DW juga disebut menerima dana Rp1 juta dari pemilik toko miras. Salah satu narasumber yang enggan disebutkan namanya menyebutkan adanya bukti transfer uang dari DW kepada Fatah. “Bukti transaksinya ada dan sudah disimpan,” ujarnya.

Namun ironis, laporan pelanggaran etik terhadap DW ke internal PWI justru mandek. DW hanya dijatuhi sanksi etik ringan oleh Dewan Kehormatan, sebagaimana dilaporkan dalam artikel Radar Bromo berjudul “Wartawan Anggota PWI Probolinggo Dilaporkan Salahgunakan Wewenang” (19 Juli 2025).

Sementara itu, Abdul Fatah justru diduga diberhentikan sepihak dari medianya, tanpa pembelaan atau klarifikasi internal.

“Fatah ini korban. Tapi justru disudutkan. Laporan kami soal DW ke PWI diabaikan, malah muncul pemberitaan yang menggiring opini seolah-olah Fatah bersalah,” ujar Mustofa, Humas Satgas Miras yang turut melaporkan DW ke PWI.

Ia menekankan, melarang kerja jurnalistik adalah pelanggaran hukum. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap orang yang menghambat kerja wartawan dapat dipidana hingga dua tahun atau denda Rp500 juta.

Kuasa hukum Abdul Fatah, Pradipto Atmasunu, menyayangkan sikap sejumlah pihak yang terlalu dini menarik kesimpulan dan menjatuhkan sanksi sepihak.

> “Kehadiran klien kami adalah bentuk itikad baik sebagai warga negara yang taat hukum. Abdul Fatah tidak bersalah. Dia korban konflik internal yang tidak sehat. Jika ditemukan indikasi rekayasa, kami akan tempuh jalur hukum lanjutan,” tegas Pradipto.

Ia juga menyoroti sikap organisasi profesi seperti PWI, yang seharusnya bersikap adil, transparan, dan tidak berpihak, terutama dalam menangani kasus etik yang melibatkan anggotanya.

Dalam kesempatan terpisah, Abdul Fatah mengungkapkan perasaannya atas situasi yang menimpanya.

> “Saya merasa dikambinghitamkan. Karier saya hancur karena ulah orang lain. DW seharusnya jadi panutan, bukan malah menjerumuskan bawahan,” ujarnya lirih.

Ia mengaku siap menjawab pertanyaan penyidik secara jujur dan berdasarkan fakta. “Hari ini saya datang untuk menjelaskan apa yang saya alami. Saya hanya bisa berdoa, semoga Tuhan menunjukkan kebenaran dan memberi keadilan bagi siapa pun yang telah mendholimi saya,” pungkasnya. (Fik)



Menyingkap Tabir Menguak Fakta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *