Kemenag Datangi Keluarga Korban Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di Ponpes, Dinilai Tekan Keluarga Agar Tak Pindahkan Anak

PROBOLINGGO, Jawara Post – Sejumlah pejabat dari Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Probolinggo mendatangi rumah keluarga korban dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tarbiyatul Islam, Desa Sumberkerang, Kecamatan Gending, pada Selasa (4/11/2025).

Kunjungan itu dilakukan sehari setelah kasus tersebut kembali ramai diperbincangkan di grup WhatsApp Rakyat Probolinggo pada Senin malam (3/11/2025). Dalam percakapan tersebut, sejumlah warga mengekspresikan kemarahan dan kekecewaan atas tindakan bejat yang diduga dilakukan oleh pengasuh ponpes terhadap salah satu santriwatinya.

“Siapa yang rela anaknya dipondokkan lalu diperlakukan tidak senonoh seperti itu? Ayo, siapa yang rela anaknya diginikan?” tulis salah satu anggota grup dalam perbincangan yang memanas itu.

Beberapa warga bahkan menuntut agar pelaku dihukum seberat-beratnya, karena dianggap telah mencoreng nilai-nilai luhur dunia pesantren yang seharusnya menjadi tempat menanamkan akhlakul karimah.

Namun, kunjungan pejabat Kemenag ke rumah keluarga korban justru memunculkan tanda tanya di tengah publik. Pasalnya, dalam pertemuan tersebut, pihak Kemenag melalui Kepala Seksi Pendidikan Madrasah (Kasi Pendma) M. As’adi, tampak lebih banyak memberi saran agar keluarga tidak memindahkan anaknya dari lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan ponpes tersebut.

“Saran dari Depag, kalau bisa tetap di madrasahnya. Walaupun nanti anaknya tidak mengikuti kegiatan seperti biasa, intinya kami berharap tetap di sana. Kalau mau mutasi, silakan, tapi ada banyak risikonya,” ujar As’adi dengan bahasa Madura dalam rekaman pertemuan yang diterima media ini.

As’adi menyebutkan bahwa mutasi bisa menimbulkan kendala administratif seperti penghapusan data dari sistem emis (pendataan madrasah). Ia juga menyampaikan kekhawatiran jika anak tersebut dikeluarkan tanpa tujuan yang jelas, bisa kehilangan hak ijazahnya.

“Kalau belum ada sekolah tujuan, itu sama halnya seperti melepas anak tanpa arah. Nanti datanya sudah dikeluarkan dan tidak bisa masuk lagi. Akhirnya bisa D.O. dan tidak dapat ijazah,” jelasnya.

Meski di akhir pembicaraan ia menegaskan bahwa keputusan tetap berada di tangan keluarga korban, tekanan tersirat agar anak tidak dipindahkan terasa kuat. Bahkan, saat ibu korban menyebut rencana memindahkan anaknya ke Ponpes Habib Toha, Kecamatan Gending, ia masih sempat menanyakan hal tersebut dengan nada keberatan.

“Rencana ke Habib Toha, ya?” tanya As’adi.

Sang ibu menjawab pelan, “Rencana iya, tapi anak masih trauma. Saat dicoba masuk, dia menangis.”

Langkah Kemenag ini menuai sorotan publik. Alih-alih memberi pendampingan psikologis dan memastikan proses hukum berjalan transparan, kehadiran pejabat Kemenag justru dinilai sebagian pihak sebagai bentuk tekanan moral terhadap keluarga agar tidak mempermasalahkan lembaga pendidikan terkait.

Kasus dugaan kekerasan seksual di Ponpes Tarbiyatul Islan ini sebelumnya mencuat usai ramai diberitakan sejumlah media daring. Sejumlah LSM di Kabupaten Probolinggo mendesak aparat penegak hukum segera menetapkan tersangka dan menutup ponpes tersebut.

Hingga berita ini ditulis, Polres Probolinggo yang telah menaikkan proses ke tahap penyidikan, hingga kini belum mengumumkan status hukum yang jelas terhadap pengasuh ponpes yang diduga menjadi pelaku. (Fik)



Menyingkap Tabir Menguak Fakta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *