PT JAWARA POS GRUP

RADAR SUMATERA : HEBOH PERBUP YANG PICU KONTRAVERSI

BANDA ACEH, Jawara Post—Pemerintah Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, kembali me ngeluarkan ketentuan kontroversial. Kali ini terkait rumah makan dan minum: lelaki dan perempuan non muhrim duduk satu meja disebut haram, pramusaji dilarang melayani pelanggan perempuan di atas pukul 21.00, dan pramusaji perempuan dilarang bekerja di atas pukul 21.00 WIB.

Seorang perempuan duduk bersama seorang pria di sebuah restoran di Banda Aceh, beberapa waktu lalu. Hal seperti ini dilarang di Kabupaten Bireuen, Aceh, kecuali jika mereka suami-istri atau keluarga.

Ketentuan-ketentuan baru itu bertajuk ‘standarisasi warung kopi/cafe dan restoran sesuai syariat Islam’ yang disahkan oleh Bupati Bireuen, Saifannur, pada Kamis (30/8).

Perempuan dan pria diperbolehkan duduk satu meja di warung kopi atau restoran jika mereka muhrim (suami-isteri atau saudara sedarah). Perempuan juga bisa dilayani di atas pukul 21.00 jika ditemani suami atau anggota keluarganya.

Kebijakan tersebut segera menjadi pembicaraan dan ditentang sejumlah kalangan masyarakat, yang menganggap bupati Bireun sudah terlalu berlebihan membuat aturan tentang syariat.

Murni, aktivis perempuan dari lembaga GASAK, misalnya, menilai kebijakan bupati Bireun tersebut membatasi ruang lingkup pekerja perempuan.

“Pemerintah jangan asal mengeluarkan kebijakan. Bagaimana dengan kami yang misalnya punya tamu dari luar dan memang harus ketemu di warung kopi atau kafe,” kata, Murni kepada wartawan di Aceh.

Menurut Murni, hampir seluruh ketentuan baru dikeluarkan bupati ini tidak masuk akal, karena diskriminatif terhadap kaum perempuan, padahal mereka juga banyak yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Melalui kebijakan bertajuk ‘standarisasi warung kopi/cafe dan restoran sesuai syariat Islam’, Bupati Bireuen, melarang pelayan restoran melayani pelanggan perempuan di atas pukul 21.00 kecuali yang bersangkutan ditemani suami atau anggota keluarganya.

“Untuk tidak melayani perempuan setelah pukul 21.00 WIB, dan mengharamkan perempuan duduk satu meja dengan laki-laki, itu tidak masuk akal. (Kalau masalahnya zinah) Memangnya perempuan saja yang berbuat dosa (sehingga dibatasi hanya sampai jam 21.00)? Lalu, sesama laki-laki juga bisa bermaksiat, kali,” cetusnya.

Hal lain, dia menambahkan, haram atau halal merupakan kewenangan lembaga ulama yang punya otoritas fatwa, bukan dari bupati.

Pendapat senada diutarakan salah seorang pengusaha, Syarifah Reynisa.

Dia mengaku lebih banyak menghabiskan waktu di luar, seperti warung kopi atau kafe, untuk rapat dengan rekanannya. Larangan pemerintah dinilainya membatasi kaum hawa untuk berkembang.

“Rapat di tempat terbuka seperti kafe atau warung kopi kan lebih santai. Terus kalau dilarang siapa yang akan membantu ekonomi keluarga kami? Apa pak bupati ?” kata Syarifah.

@reda



Menyingkap Tabir Menguak Fakta