Enam Rumah di Ujung Asa, Warga Alas Pandan Terancam Tergusur Eksekusi

PROBOLINGGO, JP —Suasana mencekam menyelimuti Dusun Patemon, Desa Alas Pandan, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Enam rumah warga di dusun itu dijadwalkan dieksekusi pada Kamis (25/9/2025), menyusul putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, bagi warga, vonis itu terasa dingin dan belum menyentuh nurani keadilan.

Rumah-rumah sederhana itu bukan sekadar bangunan. Ia berdiri di atas tanah yang sudah ditempati turun-temurun sejak masa kakek mereka, almarhum Saisin Samoedin, yang wafat pada 1999. Sertifikat tanah masih mereka pegang, tak pernah dibatalkan pengadilan, dan di halaman rumah itu pula makam leluhur terbaring tenang.

“Kalau rumah kami digusur, kami mau tinggal di mana? Di sini ada orang tua kami, anak-anak kami, bahkan makam kakek kami. Kami hanya ingin keadilan,” lirih Syamsul Arifin (40), cucu almarhum Saisin yang kini mengajar di SMP Negeri 2 Pajarakan.

Harapan yang Tertunda

Kuasa hukum warga, Prayuda Rudy Nurcahya, menilai perkara ini sarat kejanggalan. Menurutnya, pihak penggugat yang berasal dari Plampang, Paiton, tidak memiliki hubungan darah dengan Saisin Samoedin. Bukti yang dipakai pun hanya berupa buku Pipil nomor 218.

“Sedangkan sertifikat tanah keluarga klien kami masih sah secara hukum. Anehnya lagi, ada pihak lain yang tiba-tiba mengaku sebagai ahli waris. Padahal, setelah kami telusuri, Saisin yang mereka maksud sudah meninggal tahun 1977, sementara gugatan baru diajukan pada 2008. Siapa sebenarnya yang menggugat? Ini jelas janggal,” tegasnya, Senin (22/9/2025).

Yuda juga menyoroti proses hukum yang belum rampung. “Kami sudah ajukan kasasi. Kalau nanti ternyata kami yang menang, bagaimana dengan eksekusi yang sudah dilakukan? Siapa yang akan bertanggung jawab?” tambahnya.

Antara Hukum dan Nurani

Kasus ini telah berliku sejak 2008. Pada perkara pidana, keluarga Saisin pernah menang—putusan itu menegaskan mereka berhak atas tanah tersebut. Namun di jalur perdata, hasilnya berbalik: mereka kalah.

Situasi yang membingungkan ini membuat warga semakin merasa terpinggirkan. “Kami orang kecil, bukan orang kaya. Tapi kami punya KTP, punya sertifikat. Kami hanya ingin hukum berpihak pada kebenaran,” ujar Radawi, warga setempat.

Ketakutan yang Membayangi

Di balik tumpukan berkas dan istilah hukum, yang tersisa bagi warga hanyalah rasa takut. Bagi mereka, kehilangan rumah berarti kehilangan sejarah, identitas, dan tempat berpulang bagi generasi berikutnya.

“Kalau semua ini terjadi, kami harus pergi ke mana? Kami tidak punya tempat lain,” ucap Syamsul, menahan getar suara.

Kini, warga Dusun Patemon hanya bisa menunggu. Di persimpangan antara palu hakim dan nurani, mereka berharap ada secercah keadilan yang meneguhkan: bahwa rumah bukan sekadar bangunan, melainkan jejak kehidupan, warisan leluhur, dan masa depan keluarga. (Fik)



Menyingkap Tabir Menguak Fakta