PT JAWARA POS GRUP

Sejarah Nama Pekanbaru dan Sultan Siak

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Dengan semakin dalam mengurai sejarah, maka kita akan tahu perjalanan bangsa ini dari masa kemasa”

Jawara Post – Mengawal Negara Sepenuh Jiwa

SEJARAH nama kota Pekanbaru juga berkaitan dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura tepatnya pada masa pemerintahan Tengku Muhammad Ali yang merupakan Sultan Siak ke 5 menggantikan ayahnya Sultan Alamuddin Syah dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah atau Sultan Abdul Jalil Mualim Syah (1766 – 1779 M).Sebelum menjadi raja di Kerajaan Siak, Tengku Muhammad Ali merupakan seorang Panglima Besar Kerajaan yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzaffar Syah. Dan pada masa pemerintahan Sultan Ismail menjadi Sultan untuk kedua kalinya sewaktu mengantikan kedudukan beliau menjadi Sultan Siak. Pada masa pemerintahannya Sultan Muhammad Ali kembali bersekutu dengan Belanda untuk meminta perlindungan dari musuh – musuh kerajaan yang ingin menyerang kerajaan, pada saat itu musuh yang paling utama adalah Sultan Ismail yang menuntut haknya atas singgasana Kerajaan Siak.

Pasar Bawah, Pekanbaru, Riau

Pada saat pemerintahan ayahandanya yaitu Sultan Alammuddin Syah sampai dengan masa pemerintahannya, Sultan tidak membayar hutang kepada Belanda, maka Belanda membiarkan Sultan Muhammad Ali mempertahankan kedudukannya sendiri dari para musuh kerajaan dalam hal ini adalah Sultan Ismail, sehingga Sultan Ismail dengan mudah merebut kedudukannya sebagai Raja di Kerajaan Siak. Selain itu pada masa pemerintahannya, Sultan Muhammad Ali berhasil membangun Senapelan dan mendirikan pekan (pasar) yang baru dan kemudian berkembang dengan pesatnya, sehingga diberi nama Pekanbaru. Karena keadaannya yang semakin tua dan sakit sakitan, akhirnya Sultan Muhammad Ali mangkat pada tahun 1791 M di Pekanbaru dan dimakamkan di samping Mesjid Raya Pekanbaru. Sultan Muhammad Ali bergelar Marhum Pekan karena telah berhasil menghubungkan Pekanbaru, Minangkabau dan lndragiri. Dari pernikahannya dengan Tengku Mandak binti Tengku Buang Asmara dan dengan istri-istri yang lain, tidak diketahui keturunan keturunannya.

Raja Kecil, Pendiri Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Makam Sultan di Masjid Raya Senapelan

SULTAN Abdul Jalil Rachmad Syah atau dikenal dengan Raja Kecil adalah pendiri kerajaan Siak yang memerintah dari tahun 1723 M hingga tahun 1746 M.Beliau adalah putra dari Sultan Mahmud Syah II dengan ibundanya bernama Encik Pung atau Encik Apung, putri dari Datuk Laksemana dari Kerajaan Johor.Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah memiliki istri yang bernama Tengku Kamariyah putri dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dari Kerajaan Johor dan istri istrinya yang lain dengan dikaruniai beberapa orang putra yang bernama Tengku Alam (Raja Alam) dari istrinya putri dari Dipati Batu Kucing, Palembang dan Tengku Buang Asmara (Raja Buang Asmara) dari istrinya Tengku Kamariyah. Pada tahun 1746 Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah mangkat di lstananya dikarenakan mendapatkan tekanan jiwa atas kematian istrinya Tengku Kamariyah di daerah Buantan dan dimakamkan di sana, kemudian diberi gelar Marhum Buantan. Selanjutnya kerajaan dipimpin oleh Tengku Buang Asmara. Dia meerupakan sultan kedua yang memerintah kerajaan Siak dengan gelar Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzaffar Syah.

Di masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzaffar Syah ibukota Kerajaan Siak dipindahkan dari Buantan ke Sungai Mempura Besar dan dinamakanlah kota Siak itu Siak Sri Indrapura. Pada struktur pemerintahan diangkatlah putra Tengku Alam sebagai Panglima Besar Kerajaan yaitu Tengku Muhammad Ali. Mereka berdua ikut berperang melawan Belanda pada tahun 1759 M. Dalam perang Guntung itu dimenangkan oleh kerajaam Siak dengan membunuh Vandrig Hansen atas bantuan Syaid Umaryang langsung menikam Vandrig Hansen disaat berlangsungnya perundingan. Perundingan tersebut berlangsung di benteng Belanda yang berada di Pulau Guntung tepatnya pada tanggal 6 November 1759 M. Pada tanggal 23 November 1760 M mangkatlah Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzafaar Syah karena sakit di lstananya. Beliau dimakamkan di daerah Sungai Mempura Besar dan kemudian bergelar Marhum Mempura Besar. Setalah kemangkatan Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah, beliau digantikan oleh putranya Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin.

Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah memiliki beberapa orang istri dan anak di antaranya: Istrinya To’Wai dikaruniai dua orang anak Tengku Embung Besar dan Tengku Musa atau Tengku Endut.Istrinya O’Puwan dikaruniai dua orang anak juga, pertama Tengku Ismail (Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin) dan Tengku Daud. Tengku Ismail (Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin) merupakan Sultan Siak yang ke- 3 yang naik tahta pertama pertama kalinya pada tahun 1760 M sampai dengan tahun 1761 M. Masa pemerintahan beliau sangat singkat, karena Raja Alam (Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah)kembali ke Siak untuk menuntut haknya sebagai raja dari Sultan Ismail karena beliau memang berhak atas tahta Siak. Tengku Alam adalah putra sulung dari Raja Kecil dengan putri Dipati Batu Kucing. Pada saat Raja Kecil wafat Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang pada saat itu menjabat sebagai Raja Muda tidak puas akan jabatan tersebut dan memberontak tetapi mengalami kekalahan kemudian melarikan mula mula ke batubara dan terus ke Palembang. Setelah Tengku Buang Asmara wafat barulah Tengku Alam atau Sultan Abdul Jalil Alammuddin Syah dapat mengusai Siak dengan bantuan dari Belanda yang melakukan serangan bertubi tubi ke Siak yaitu tepatnya pada tanggal 14 April 1761 M sampai dengan 17 Juni 1761 M. Setelah Sultan Alamuddin wafat, maka tahta jatuh ketangan putranya yaitu Sultan Muhammad Ali. Pada saat itu Sultan Ismail mundur ke Pelalawan.

Karena tidak menyukai hal tersebut maka Sultan Ismail kembali ingin merebut tahta kerajaan dari Sultan Muhammad Ali. Setelah melakukan penyerangan terhadap kekuasaan Sultan Muhammad Ali, maka Sultan Ismail berhasil merebut tahta kerajaan dengan cara damai dari Sultan Muhammad Ali kepada Sultan Ismail yang bertindak sebagai penengah adalah Belanda. Pada tahun 1779 M Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin naik tahta untuk yang kedua kalinya dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Rahmad Syah dan pada masa pemerintahan yang kedua ini, pusat pemerintahan Kerajaan Siak di pindahkan dari Senapelan ke Mempura Kecil.Dan Tengku Muhammad Ali diangkkat kembali sebagai Panglima Besar di Kerajaan Siak.

Sultan Ismail dan Tengku Muhammad Ali meminta bantuan berupa perlindungan dari Belanda jika ada serangan dari musuh musuh kerajaan yang ingin merebut kerajaan. Pada akhir tahun 1781 M Sultan Ismail wafat dan bergelar Marhum Mangkat di Balai karena sultan mangkat di ruang persidangan (balai), dan digantikan oleh putranya yang bernama Tengku Sulung (Sultan Yahya). Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin dikaruniai beberapa orang keturunan yaitu: Tengku Sulung (Sultan Yahya), Tengku Abdurrahman , Tengku Saleh , Tengku Seedah, Tengku Asiah, Tengku Tijah, Tengku Alan (Sultan Abdul Jalil Alammudin Syah) Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah naik tahta pada 17 Juni 1761 M yang telah berhasil mengalahkan dan menggantikan keponakannya Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin atas bantuan Belanda yang mempunyai keterikatan dengan Tengku Alam yaitu sebuah perjanjian tepatnya pada 16 Januari 1761 M yang secara keseluruhan isinya menyatakan bahwa Tcngku Alam saling membantu dengan Belanda dalam penyerangan merebut kekuasaan di Siak.Jika kedua belah pihak berhasil merebut kekuasan Kerajaan Siak, maka hasilnya dibagi dua antara Tengku Alam dengan Belanda serta membayar utang yang telah dipcrbuat Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzafar Syah terhadap Belanda sebelumnya.

Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Alammuddin Syah pusat pemerintahan dipindahkan dari Mempura Besar ke Sungai Palem (Senapelan) dikarenakan desakan Belanda terhadap sultan dimana sultan tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.Beliau membuka jalur perdagangan di Senapelan sehingga Senapelan berkembang pesat menjadi pusat dagang yang disinggahi kapai kapal dari berbagai penjuru. Sultan ini ternyata sudah mempersiapkan Alamuddin mempersiapkan putranya Tengku Muhammad Ali sebagai penggantinya kelak yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Panglima Besar pada saat pemerintahan Sultan Abdul Jalil Muhammad Muzaffar Syah.

Setelah itu, usaha lain yang dilakukan oleh Sultan Alamuddin adalah mcnikahkan putrinya yang bcmama Tengku Embung Badariah dengan seorang bangsawan arab yang bernama Syaid Usman bin Abdurrahman Al Sahab dengan tujuan untuk memajukan agama Islam di daerah Senapelan. Pada tahun 1766, Sultan Abdul Jalil Alammudin Syah mangkat dikarenakan usianya. Beliau digantikan oleh putranya Tcngku Muhammad Ali. Sultan Alamuddin di makamkan di daerah Senapelan tepatnya dihalaman Mesjid Senapelan dan bergelar Marhum Bukit. Sultan meninggalkan seorang istri istri yang bcrnama Daeng Tijah dengan gelar Sultanah Qodijah dengan dua orang anak yang bemama Tengku Muhammad Ali dan Tengku Embung Badariah. Ada riwayat yang menyatakan bahwa ada 4 orang penyiar Islam dari tanah arab yang bermukim di daerah Siak pada saat pemerintahan Sultan Alammuddin Syah, mereka adalah :

1. Syaid Usman bin Abdurrahman Al Sahab
2. Syaid Abdullah A1 Qudsi
3. Syaid Muhammad bin Ahmad Al Aydrus
4. Syaid Husin Al Qadri

Di masa pemerintahan Sultan Alamuddin Syah, Syaid Usman diangkat sebagai Panglima Besar Kerajaan Siak. Beliau dapat memusnahkan bajak bajak laut yang ada disekitar Selat Malaka dengan menggunakan dua senjata pusaka yaitu Siraga (buaya berenang) dan Besi Uta uta sebuah besi bulat yang diberi joran dan dapat menduduki muara Sungai Siak. Dari pernikahannya dengan Tengku Embung Badariah anak dari Sultan Alamuddin Syah, beliau dikaruniai 7 orang anak antara lain:

1. Tengku Udo Sayid Ali (Sultan Syarif Ali)
2. Tengku Long Tih
3. Tengku Besar Sayid Abdurrahman (menjadi 4. Raja di Pelalawan)
5. Tengku Panglima Besar Sayid Ahmad (Panglima Besar Tebing Tinggi)
6. Tengku Ngah Kalakap (Mangkat Muda)
7. Tengku Hitam
8. Tengku Buntat (mangkat muda) Sedangkan dengan istrinya yang bernama Encik Jebah dikaruniai seorang anak yang bemama Syaid Hamid (Tengku Bujang). Pada pemerintahan Sultan Yahya, Syaid Hamid membantu saudaranya yaitu Syaid Ali dan Syaid Abdurrahman dalam menyerang Sambas. Syaid Usman bin Abdurrahman wafat di Langkat bertepatan dengan mangkatnya Sultan Alamuddin Syah yaitu pada tahun 1766. Di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali berkuasa, makamnya dipendahkan ke Pekanbaru tepatnya di samping Mesjid Raya Pekanbaru yang bersebelahan dengan Makam lstrinya Tengku Embung Badariah dan beliau bergelar Marhum Barat.

Terjadi Perebutan Tahta Kerajaan Siak Masa Kepemimpinan Tengku Sulung, Sultan Siak ke-6

SULTANYahya Abdul Jalil Muzaffar Syah naik tahta pada tahun 1781 – 1791 M menggantikan ayahandanya Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin. Singkatnya masa pcmerintahan Sultan Yahya antara lain disebabkan terjadinya perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan Kerajaan Siak antara Sultan Yahya dengan Tengku Udo (Syaid Ali) putra dari Tengku Embung Badiah binti Tengku Alam dengan Syaid Usman yaitu pada saat setelah mangkatnya Tengku Muhammad Ali.Pada saat pemerintahannya, Sultan Yahya bersekutu dengan Belanda untuk memperluas daerah kekuasaan kerajaan dibantu oleh Tengku Muhammad Ali yang pada saat itu memikul tanggung jawab pemerintahan dikarenakan Sultan Yahya masih sangat muda.

Dengan adanya pengawalan Tengku Muhammad Ali pada jalannya pemerintahan kerajaan, maka Sultan Yahya berusaha untuk memperluas daerah kckuasaan Kerajaan Siak dan diangkatlah Syaid Ali sebagai Panglima Besar Kerajaan oleh Tengku Muhammad Ali. Tengku Muhammad Ali mengutuskan Syaid Ali untuk menyerang Selangor yang pada saat itu yang menjadi sultannya adalah Sultan Ibrahim, dan Selangor pun dapat dikuasi oleh Syaid Ali dengan bala tentaranya, tetapi kekuasaan di Selangor tidak bertahan lama karena Syaid Ali dapat dipukul mundur oleh Sultan Ibrahim.

Setelah kembalinya dari Selangor, Syaid Ali dapat menguasai daerah Bukit Batu atas bantuan Raja Muda Tengku Endut. Pada tahun 1790 M, saudara Syaid Ali yang bernama Syaid Abdurrahman meminta bantuan kepada Syaid Ali untuk menyerang Sambas. Pada saat itu Syaid Hamid atau Tengku Bujang juga berada di sekitar Sambas dan kemudian bergabung dengan pasukan Syaid Ali untuk menyerang Sambas tetapi Syaid Ali, Syaid Abdurrahman dan Tengku Bujang terpukul dan mengalami kekalahan, sehingga mereka harus kembali ke Siak. Syaid Ali sangat ditakuti oleh Sultan Yahya dan pemerintahan Belanda juga kewalahan menghadapi tingkah laku Syaid Ali. Dan Syaid Ali juga menjalin hubungan dengan musuh musuh Belanda berarti musuh Sultan juga.

Sehingga Belanda mengutus Tengku Muhaamad Ali untuk mengurus dan mengawasi tindakan Syaid Ali, karena Syaid Ali sangat menghormati Tengku Muhammad Ali. Melihat sikap petualang Syaid Ali tersebut maka Tengku Muhammad Ali ingin mengikut sertakan Syaid Ali dalam pemerintahan supaya Tengku Muhammad Ali dapat menguasai Kerajaan Siak secara keseluruhan, tetapi rencana itu ditentang oleh Tengku Endut. Oleh sebab itu, Tengku Muhammad Ali bersama dengan Syaid Ali keluar dari Siak dan kembali ke Pekanbaru. Dari Pekanbaru Syaid Ali pergi ke Petapahan untuk menguasai Petapahan, tetapi Syaid Ali mendapat perlawanan Haji Padang yang merupakan penguasa di daerah Petapahan yang merupakan wilayah kekuasaan Kerarajaan Siak, maka Haji Padang meminta bantuan kepada Sultan Siak dan Syaid Ali dapat dipukul mundur.

Syaid Ali kembali ke Pekanbaru dan meminta Tengku Muhammad Ali untuk membantunya, maka Tengku Muhammad Ali mengirikan surat kepada Sultan Yahya agar memberi bantuan kepada Syaid Ali. Sultan Yahya memenuhi permintaan itu dan diutus Raja Muda Tengku Endut ke Petapahan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Di Petapahan Tengku Endut mendapat penjelasan dari Haji Padang, bahwa Haji Padang tidak memusuhi Sultan Siak, tetapi karena Syaid Ali tiba – tiba menyerang Petapahan maka Haji Padang melakukan perlawanan. Raja Muda Tengku Endut mengikat perdamaian antara Haji Padang dengan Syaid Ali, kemudian Syaid Ali kembali ke Bukit Batu yang merupakan daerah yang berhasil dikuasinya dahulu.

Pada tahun mangkatnya Tengku Muhammad Ali yaitu pada tahun 1791 M, Syaid Ali berusaha untuk merebut tahta Kerajaan Siak yang disokong oleh Tengku Musa dan Tengku Musa mempengaruhi putranya Tengku Endut untuk tidak menyusun pertahanan di wilayah Kerajaan Siak yang dipimpin oleh Sultan Yahya. Sultan Yahya dan Tengku Endut terpaksa harus mengalah dikarenakan kuatnya dukungan dan desakan dari pengikut Syaid Ali dan menyerahkan tahtanya kepada Syaid Ali, Sutan Yahya dan Tengku Endut meninggalkan Kerajaan Siak. Sultan Yahya berangkat menuju Trengganu, beliau bermukim di sebuah kampung yang bernama Dungun sampai akhir hayatnya. Sultan Yahya mangkat pada tahun 1971 M karena tekanan jiwa (gila) di Dungun dan dimakamkan di sana dengan gelar Marhum Mangkat di Dungun, sedangkan Tengku Endut menjadi bajak laut dan merompak di sepanjang pantai Borneo (Kalimantan). Sultan Yahya menikah dengan Tengku Aminah binti Tengku Musa dan memiliki beberapa orang anak antara Iain: a. Tengku Sulung Muhammad
b. Tengku Ibrahim
c. Tengku Mansur
d. Tengku Salamah.

bersambung


TAG

Menyingkap Tabir Menguak Fakta